Taiwan Perdebatkan Skema Rekrutmen Fleksibel Guru di Tengah Gelombang Pensiun
Sebagai respons terhadap gelombang pensiun guru yang terus meningkat, Kementerian Pendidikan Taiwan tengah mempertimbangkan untuk membuka jalur rekrutmen fleksibel guna merekrut profesional dari dunia industri dan akademik untuk mengajar di sekolah dasar dan menengah pertama. Inisiatif ini ditujukan sebagai langkah pelengkap, dan menyasar individu yang memiliki pengalaman kerja minimal enam tahun serta gelar sarjana dalam bidang yang relevan dengan kurikulum pendidikan menengah.
Namun, langkah ini menuai kritik dari Federasi Serikat Guru Nasional, yang menilai kebijakan ini hanya menjadi solusi jangka pendek. Ketua federasi, Hou Chun-liang (侯俊良), menekankan bahwa masalah utama justru terletak pada banyaknya guru bersertifikat yang enggan masuk ke dunia pendidikan karena berbagai persoalan sistemik. Sementara itu, Wu Chang-mei (巫彰玫) menambahkan bahwa melewati jalur pelatihan guru tradisional—seperti kredit pendidikan, ujian sertifikasi, dan magang—dapat melemahkan kualitas sistem pendidikan guru dan mengurangi minat generasi muda untuk berkarier sebagai pendidik.
Menurut proposal kementerian, guru yang direkrut melalui skema ini akan dibatasi maksimal seperdelapan dari jumlah tenaga pengajar tetap di setiap sekolah. Proses seleksi awal dilakukan oleh komite internal sekolah sebelum diajukan ke kementerian untuk ditinjau. Sebuah komite penasehat khusus akan dibentuk untuk memastikan bahwa kandidat memenuhi kualifikasi, termasuk pengalaman kerja di sektor industri atau dalam posisi pengajaran dan penelitian di perguruan tinggi.
Anggota legislatif dari Taiwan People’s Party, Liu Shu-pin (劉書彬), mencatat bahwa saat ini Taiwan memiliki sekitar 70.000 calon guru bersertifikat, termasuk 20% yang berasal dari bidang sains. Ia menyatakan bahwa tantangan sebenarnya terletak pada sistem rekrutmen dan penempatan, terutama di daerah terpencil dan pulau-pulau luar.
Sebagai tanggapan, Kementerian Pendidikan menegaskan bahwa jalur rekrutmen fleksibel ini tidak dimaksudkan untuk menggantikan jalur pelatihan yang ada, melainkan untuk memberikan opsi tambahan bagi sekolah sesuai kebutuhan spesifik mereka. Untuk menjawab tantangan rekrutmen secara lebih luas, kementerian juga terus memperluas program pelatihan guru—termasuk menambah kuota pelatihan prajabatan, membuka kursus kredit pendidikan pascasarjana, dan menyediakan kelas yang didanai pemerintah.
Ilustrasi guru mengajar di kelas (foto: Education International)
NTNU Disanksi atas Pengambilan Sampel Darah secara Paksa
Kementerian Pendidikan (MOE) beberapa waktu lalu menyampaikan, bahwa mereka telah mendenda National Taiwan Normal University (NTNU) sebesar NT$1,1 juta (Rp609,7 juta) dan dua pemimpin proyek penelitian masing-masing NT$500.000 atas dugaan pengambilan sampel darah secara paksa terhadap pemain sepak bola putri di universitas.
MOE juga menyampaikan, bahwa satuan tugas investigasi akan dibentuk bersama dengan Dewan Sains dan Teknologi Nasional (NSTC), karena kasus ini melibatkan "pelanggaran besar terhadap etika penelitian manusia" dalam sebuah proyek yang didanai NSTC.
Sementara itu, Kantor Kejaksaan Distrik Taipei mengutarakan, bahwa mereka telah meluncurkan penyidikan pidana, dengan pelatih tim sepak bola yang bermarga Chou (周) sebagai tersangka, dan akan menyelidiki apakah tindakannya merupakan pemaksaan pidana.
Menanggapi kasus ini, kepala NTSC Wu Cheng-wen (吳誠文) menyampaikan, bahwa ia mengecam keras tindakan NTNU dan sikap "acuh tak acuh" dalam investigasi NSTC, seraya menambahkan bahwa dewan dari pihaknya akan merilis laporannya dalam dua bulan, dan pendanaan sekolah tersebut dapat dibatalkan sebagai akibatnya.
Kasus ini pertama kali diungkit pada November lalu oleh legislator Partai Progresif Demokratik Chen Pei-yu (陳培瑜), yang mengangkat bahwa selama beberapa tahun, pemain tim sepak bola putri NTNU diwajibkan oleh pelatih mereka untuk berpartisipasi dalam proyek NSTC yang melibatkan tiga kali pengambilan darah per hari selama 14 hari berturut-turut, "dengan ancaman tidak diberikan kredit mata kuliah yang dibutuhkan untuk lulus."
Chen juga mengatakan bahwa pada tahap awal penelitian, sampel darah diambil personel yang tidak memiliki kualifikasi medis, yang melanggar Undang-Undang Penelitian Subjek Manusia dan Undang-Undang Perawatan Medis, menurut Lai Hsin-heng (賴信亨), kepala Taiwan Association of Medical Technologists.
Selain itu, Lai mengatakan teknik dan praktik yang tidak tepat oleh personel yang tidak berkualifikasi dapat menimbulkan risiko yang mengancam jiwa bagi atlet, seperti infeksi, otot robek, dan pembuluh darah pecah.
Dalam sebuah pernyataan, Rektor NTNU Wu Cheng-chih (吳正己) atas nama universitas menyampaikan permintaan maaf yang sedalam-dalamnya kepada para mahasiswa yang terdampak, orang tua mereka, dan seluruh masyarakat yang peduli pada pendidikan dan hak asasi manusia.
NTNU mengakui bahwa anggota tim sepak bola putri mereka telah menjadi subjek pengambilan sampel darah jangka panjang untuk penelitian tanpa persetujuan yang tepat dan diinformasikan.
Para mahasiswa juga mengalami "ancaman verbal dan tekanan psikologis dalam dinamika kekuasaan yang tidak seimbang antara guru dan siswa," kata pihak universitas.
Setelah investigasi Komite Etika Penelitian dan Komite Pencegahan Perundungan Kampus NTNU, "guru yang terlibat ditemukan telah melanggar standar etika dan melakukan perundungan."
NTNU berjanji akan melakukan tinjauan menyeluruh terhadap sistem rekrutmen dan evaluasi pelatih, pelatihan dan desain kurikulum untuk tim olahraga, serta mekanisme peninjauan etika dan pengawasan penelitian akademik, sambil mengambil tanggung jawab penuh atas masalah ini.
NTNU mengatakan komite peninjauan fakultasnya telah meninjau kembali kasus ini dan menyelesaikan tindakan pendisiplinan. Selain itu, guru yang terlibat telah diskors sementara untuk menghindari kontak dengan mahasiswa yang terlibat.
NTNU, salah satu universitas terkemuka di Taiwan, telah dikritik karena tidak memecat pelatih tim sepak bola tersebut, melainkan hanya tidak memberikannya kenaikan gaji, lembur, pengajaran paruh waktu, dan penelitian atau studi lanjut ke luar negeri dengan gaji, serta larangan menjadi eksekutif, pengawas, atau anggota komite evaluasi fakultas.
MOE mengatakan NTNU telah diperintahkan untuk menghentikan usulan penelitian terkait tubuh manusia baru sejak 1 Juli, dan diwajibkan melapor ke kementerian dalam waktu tiga bulan mengenai perbaikan yang telah dilakukan.
NTNU (foto: NTNU)
Gantungan Kunci di Tas: Ekspresi Identitas Anak Muda Taiwan
Di jalanan kota Taipei, di sudut-sudut kampus, maupun di dalam stasiun MRT, tidak sulit menemukan anak-anak muda dengan tas yang penuh dengan gantungan kunci (keychains). Gantungan itu bisa berupa figur karakter anime, boneka kecil, logo band, miniatur makanan, hingga aksesori buatan tangan. Fenomena ini bukan sekadar tren visual atau aksesoris lucu semata, melainkan cerminan dari ekspresi identitas, afiliasi, dan budaya anak muda Taiwan masa kini.
Sejarah Singkat dan Perkembangan
Tren menggantungkan gantungan kunci di tas tidak sepenuhnya baru. Di Taiwan, fenomena ini sudah ada sejak awal 2000-an, seiring masuknya budaya Jepang secara masif lewat media seperti anime, manga, dan musik J-Pop. Karakter-karakter dari Studio Ghibli, Hello Kitty, hingga One Piece menjadi item koleksi populer. Kehadiran toko seperti Animate, Sanrio, dan berbagai toko mainan Jepang di kawasan Ximending atau Zhongxiao Dunhua memperkuat penyebaran budaya koleksi gantungan kunci.
Namun, dalam dekade terakhir, tren ini berkembang dan meluas, tidak hanya terkait fandom Jepang, tetapi juga mencakup budaya Korea (K-Pop), produk-produk desain lokal, dan simbol gerakan sosial tertentu. Gantungan kunci bukan lagi hanya cendera mata atau hiasan, tetapi menjadi bagian dari bahasa visual anak muda dalam membentuk dan menunjukkan jati diri mereka.
Mengapa Anak Muda Taiwan Menyukai Gantungan Kunci?
1. Ekspresi identitas pribadi dan kolektif
Di tengah masyarakat yang semakin individualistis namun terhubung secara digital, anak muda Taiwan memanfaatkan tas dan aksesori yang mereka bawa sebagai kanvas untuk menampilkan siapa diri mereka. Gantungan kunci menjadi media visual yang mudah diakses untuk menunjukkan apa yang mereka suka: karakter favorit, artis idola, brand lokal, atau bahkan opini politik.
2. Kebutuhan akan representasi dan diferensiasi
Dalam masyarakat yang cenderung homogen dalam hal seragam sekolah atau aturan berpakaian di tempat kerja, anak muda mencari ruang untuk mengekspresikan diferensiasi diri. Gantungan kunci menawarkan cara mudah dan murah untuk menyampaikan “aku berbeda,” tanpa harus melanggar norma berpakaian atau institusi.
Bahkan, banyak pelajar SMA atau mahasiswa yang saling bertukar gantungan kunci buatan sendiri (DIY), sebagai bentuk persahabatan sekaligus “branding” sosial dalam komunitas kecil mereka.
3. Budaya koleksi dan sentimen nostalgia
Budaya koleksi sangat kuat di Taiwan. Banyak anak muda yang sejak kecil sudah terbiasa mengoleksi stiker, mainan kapsul (gachapon), atau barang-barang karakter dari serial favorit. Gantungan kunci menjadi lanjutan alami dari budaya ini. Mereka tidak hanya mengoleksinya untuk disimpan, tapi juga untuk dipamerkan secara publik lewat tas, ransel, atau dompet.
Ada pula sisi sentimental: gantungan kunci dari perjalanan tertentu, hadiah dari teman, atau cendera mata konser pertama menjadi benda yang menyimpan cerita pribadi. Menggantungkannya di tas berarti membawa kenangan itu ke mana pun mereka pergi.
4. Dukungan terhadap produk lokal dan budaya independen
Dalam beberapa tahun terakhir, gelombang dukungan terhadap produk lokal Taiwan meningkat pesat. Banyak desainer muda membuat gantungan kunci edisi terbatas yang dijual di pasar seni (seperti Simple Market, Huashan Creative Park, atau Pop Up Store kampus). Anak muda melihat pembelian dan penggunaan gantungan lokal ini sebagai bentuk dukungan terhadap ekonomi kreatif lokal sekaligus pembentukan identitas “Taiwanese modern.”
Tidak jarang, gantungan kunci juga membawa pesan-pesan sosial, seperti dukungan terhadap gerakan LGBTQ+, isu lingkungan, atau kebebasan berekspresi. Dalam konteks ini, tas menjadi seperti papan pengumuman bergerak.
5. Influensi media sosial dan estetika visual
Di era Instagram dan Xiaohongshu, visual matters. Banyak anak muda Taiwan yang memposting “bag check” atau “what’s in my bag” sebagai konten harian. Gantungan kunci yang unik, lucu, atau edgy menjadi elemen penting dalam mempercantik tas untuk kebutuhan fotografi media sosial.
Platform seperti Instagram, TikTok, dan bahkan Pinterest memperkuat tren ini. Dengan algoritma yang menampilkan estetika tertentu—seperti Y2K style, cottagecore, atau grunge pastel—gantungan kunci dipilih untuk melengkapi gaya pribadi mereka yang dilihat oleh ribuan pengikut.
Tren ini juga membuka pintu terhadap pembentukan komunitas mikro berbasis minat. Komunitas penggemar tertentu seringkali membuat gantungan kunci eksklusif, bahkan melakukan trade meet untuk bertukar koleksi. Ini menciptakan jejaring sosial baru, memperkuat hubungan antarpenggemar, dan menumbuhkan budaya barter serta penghargaan terhadap karya kreatif.
Di sisi lain, ada dimensi perlawanan halus terhadap tekanan masyarakat arus utama. Dengan memilih gantungan kunci yang mungkin dianggap tidak umum, seperti desain absurd, karakter minor, atau slogan provokatif, anak muda bisa menyuarakan ketidaksetujuan mereka secara diam-diam namun tetap terlihat.
Tren memasang gantungan kunci di tas mungkin terlihat sepele, namun di dalamnya terdapat dinamika sosial, kultural, dan psikologis yang kompleks. Ia menjadi penanda zaman—di mana anak muda Taiwan berupaya membentuk identitas personal di tengah arus globalisasi budaya dan tekanan sosial lokal.
Seperti halnya pin dan patch di jaket denim pada era punk, atau sticker di laptop mahasiswa zaman kini, gantungan kunci adalah “pernyataan” yang bisa dibawa ke mana-mana. Dan karena sifatnya yang ringan, fleksibel, dan bisa diganti sesuai mood, mereka menjadi simbol paling cocok bagi generasi yang terus mencari bentuk baru dalam mengungkapkan diri.
Fenomena gantungan kunci di tas anak muda Taiwan bukan sekadar tren visual atau mode sesaat. Ia mencerminkan banyak hal—mulai dari afiliasi budaya, ekspresi diri, bentuk dukungan terhadap gerakan sosial, hingga kebutuhan akan identitas yang fleksibel. Dalam dunia yang terus bergerak cepat dan penuh tekanan, gantungan kecil itu menjadi cara sederhana namun bermakna untuk mengatakan kepada dunia: “Ini aku.”