(Taiwan, ROC) --- Hasil referendum mengenai pengaktifan kembali Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Ketiga telah diumumkan, tetapi alih-alih memberikan jawaban pasti, hasilnya justru menyoroti perpecahan mendalam dalam masyarakat Taiwan.
Meskipun usulan tersebut secara teknis gagal karena tidak mencapai ambang batas partisipasi, jumlah suara yang mendukung secara signifikan melebihi yang menolak, memastikan bahwa perdebatan puluhan tahun tentang energi nuklir masih jauh dari selesai.
Pada pemungutan suara yang digelar 23 Agustus 2025 lalu, usulan untuk mengaktifkan kembali PLTN Ketiga meraih 4,34 juta suara setuju, jauh mengungguli 1,51 juta suara tidak setuju. Namun, referendum dinyatakan gagal karena jumlah suara setuju tidak melampaui ambang batas 5 juta suara yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (CEC). Tingkat partisipasi yang rendah menjadi penyebab utama kegagalan ini.
Para analis menunjuk beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya antusiasme pemilih. Pertama, penyelenggaraan referendum yang terpisah dari pemilihan umum cenderung menurunkan tingkat partisipasi. Kedua, keraguan publik terhadap kekuatan mengikat hasil referendum, yang sering dianggap sebagai alat pertarungan politik, turut mengurangi urgensi untuk memilih. Terakhir, desain pertanyaan referendum itu sendiri, yang memberikan wewenang akhir kepada Komisi Keamanan Nuklir (NUSC), menciptakan persepsi bahwa hasil pemungutan suara tidak akan serta-merta mengubah kebijakan.
Meskipun gagal, hasil ini memiliki makna politik yang signifikan. Jumlah suara setuju kali ini bahkan melampaui perolehan pada referendum pengaktifan PLTN Keempat tahun 2021. Menurut para akademisi, hasil ini dapat diinterpretasikan bukan hanya sebagai dukungan murni terhadap isu nuklir, tetapi juga sebagai cerminan dukungan politik terhadap Partai Rakyat Taiwan (TPP) yang mengusung referendum ini. Dengan kata lain, makna politik dari hasil ini mungkin lebih besar daripada isu energi itu sendiri.
Kegagalan referendum ini tidak serta-merta mengakhiri diskursus pro dan kontra nuklir. Pihak pro nuklir terus menyuarakan argumen bahwa tenaga nuklir adalah sumber energi yang murah, bersih, dan stabil. Mereka menyoroti kekhawatiran akan keamanan energi nasional akibat ketergantungan yang tinggi pada gas alam impor, yang cadangannya terbatas. Lambatnya kemajuan energi terbarukan dan potensi krisis listrik di masa depan menjadi argumen utama mereka untuk mempertahankan opsi nuklir.
Menanggapi hasil ini, Presiden Lai Ching-te (賴清德) menyatakan bahwa pemerintah memahami harapan masyarakat akan diversifikasi energi dan menegaskan bahwa keamanan adalah konsensus utama. Pemerintah akan berpegang pada prinsip bahwa setiap langkah terkait nuklir harus didasarkan pada tinjauan keamanan yang ketat oleh otoritas berwenang, jaminan solusi untuk limbah nuklir, dan adanya konsensus sosial. Presiden telah menginstruksikan lembaga terkait untuk mempersiapkan kerangka hukum yang memungkinkan Taipower melakukan inspeksi keamanan di PLTN.
Lebih jauh, perdebatan ini tidak hanya berlangsung di ranah politik domestik, tetapi juga menyentuh jantung keamanan nasional dan daya saing ekonomi Taiwan. Sebagai rumah bagi industri semikonduktor terkemuka dunia yang sangat padat energi, stabilitas pasokan listrik adalah syarat mutlak.
Ketergantungan tinggi pada gas alam cair (LNG) yang diimpor melalui jalur laut membuat Taiwan rentan terhadap blokade atau gangguan pasokan eksternal. Dari perspektif ini, tenaga nuklir dilihat oleh para pendukungnya sebagai pilar strategis yang dapat menjamin kemandirian energi dan melindungi ekonomi dari gejolak geopolitik.
Di sisi lain, pemerintah dihadapkan pada dilema fundamental dalam menenangkan kekhawatiran publik yang terpolarisasi. Trauma kolektif dari bencana Fukushima, ditambah dengan lokasi Taiwan di Cincin Api Pasifik yang rawan gempa, menjadikan isu keamanan sebagai ganjalan utama yang sulit diatasi.
Masalah penanganan limbah nuklir jangka panjang juga tetap menjadi bayang-bayang yang belum terselesaikan. Oleh karena itu, langkah pemerintah ke depan kemungkinan akan menjadi sebuah manuver kebijakan yang kompleks.
Secara pragmatis menjaga opsi nuklir tetap terbuka melalui kajian keamanan, sambil secara agresif mempercepat pengembangan energi terbarukan untuk membuktikan komitmen terhadap transisi energi yang lebih aman dan berkelanjutan.