Nah... hari ini kita akan melanjutkan cerita kuliner Taiwan dengan menjelajahi sejarah kuliner Taiwan melalui buku Sejarah Kuliner Taiwan 餐桌上的台灣史
Pada 1896, seorang jurnalis perang bernama Gondo Shunji datang meliput dan menulis buku Taiwan Jikkyo atau “Keadaan Sebenarnya di Taiwan”. Ia menggambarkan bahwa nasi adalah makanan pokok yang hampir tak tergantikan—jarang sekali orang makan biji-bijian lain. Untuk lauk, babi lagi-lagi menjadi raja meja makan, disusul ayam, bebek, angsa, dan burung merpati.
Sayuran yang dikonsumsi ternyata mirip dengan di Jepang: daun bawang kucai, kacang panjang, bawang, lobak putih, talas, dan gobo (akar burdock). Semua dimasak dengan minyak dan biasanya dipadukan dengan daging babi.
Ada satu kebiasaan yang mencolok: asinan atau sayur acar menjadi lauk penting. Dari akar-akaran, daun-daunan, jahe, daun bawang pedas, hingga labu—semuanya bisa diasinkan. Dalam memasak, rasio daging dan sayur biasanya sekitar 2 banding 8—menunjukkan bahwa sayur tetap mendominasi.
Jejak restoran di Taipei
Di awal era kolonial, Taipei dipenuhi tempat makan. Menurut data September 1896, di tiga kawasan utama kota—Mengjia, Dadaocheng, dan dalam tembok Kota Taipei—terdapat 107 restoran dan 35 kedai makan yang dikelola oleh orang Jepang. Awalnya mereka menyediakan hidangan sederhana, namun pengaruh budaya mewah masa pemerintahan militer dan dibukanya kebebasan bagi perempuan Jepang untuk datang ke Taiwan pada 1896, membuat restoran kelas atas semakin marak. Banyak kedai lainnya berubah fungsi menjadi tempat hiburan malam bernuansa erotis.
Sementara itu, restoran bergaya Barat juga mulai muncul, karena makanan Barat dianggap modern, bergizi, dan berkelas—bahkan menjadi tolok ukur pendidikan dan pergaulan. Di Taipei, nama-nama seperti Taiwan Lou, Meiji Lou, Hygiene Pavilion, Yushan Pavilion, Sanyou Pavilion, dan Kaijin Pavilion menjadi ikon kuliner Eropa ala Jepang.