(Taiwan, ROC) --- Korea Selatan kini dihadapkan pada gelombang sentimen anti-Tiongkok yang kian memanas. Dari demonstrasi kelompok sayap kanan yang mengepung Kedutaan Besar Tiongkok hingga penolakan publik terhadap rencana bebas visa bagi warga Tiongkok, jelas terlihat bahwa sentimen terhadap Tiongkok telah mengakar kuat di masyarakat.
Para akademisi bahkan menyebut fenomena ini sebagai sentimen pan-nasional, melampaui sekat politik kiri dan kanan. Kondisi ini tentu menjadi pertimbangan krusial bagi Presiden Lee Jae-myung dalam merumuskan kebijakan luar negerinya. Meski upaya dialog tingkat tinggi terus dilakukan, menghangatkan kembali hubungan bilateral yang membeku tampaknya bukan perkara mudah. Semua mata kini tertuju pada kemungkinan kehadiran Xi Jin-ping (習近平) di KTT APEC Gyeongju sebagai barometer masa depan hubungan kedua negara.
Kedutaan Besar Tiongkok Dikepung: Puncak Kemarahan Anti-Tiongkok di Korea Selatan
Gelombang sentimen anti-Tiongkok di Korea Selatan mencapai puncaknya baru-baru ini. Kelompok sayap kanan Freedom University menggelar demonstrasi sengit di depan Kedutaan Besar Tiongkok di Seoul. Mereka menuding Beijing ikut campur dalam pemilihan presiden 3 Juni dan membantu Lee Jae-myung meraih kemenangan.
Puncak ketegangan terjadi saat para demonstran merusak bendera bintang lima yang memajang potret Presiden Xi Jin-ping dan Duta Besar Dai Bing (戴兵), memicu kemarahan Tiongkok dan protes resmi kepada pemerintah Korea Selatan.
Bebas Visa Tiongkok Ditolak Mentah-mentah: Petisi Massal Guncang Kebijakan Seoul
Tak hanya demonstrasi, rencana pemerintah Korea Selatan untuk memberlakukan bebas visa bagi turis Tiongkok juga menuai badai penolakan. Hingga tanggal 17 September 2025, lebih dari 52.000 warga telah menandatangani petisi daring, menuntut pembatalan kebijakan yang dianggap terlalu permisif ini. Kekhawatiran akan masuknya penyakit melalui bandara menjadi alasan utama penolakan.
Namun, di balik itu, serangkaian aksi, mulai dari unjuk rasa hingga petisi penolakan bebas visa, jelas menunjukkan bahwa sentimen anti-Tiongkok telah meresap jauh ke dalam sanubari masyarakat Korea Selatan.
THAAD: Titik Balik Dramatis Hubungan Tiongkok-Korea Selatan
Profesor Liu De-hai (劉德海) dari Universitas Nasional Chengchi (NCCU) menyoroti tahun 2014 sebagai puncak kejayaan hubungan Tiongkok-Korea Selatan, ditandai dengan kunjungan Xi Jin-ping ke Seoul. Namun, euforia itu runtuh pada tahun 2016.
Di bawah tekanan AS, Korea Selatan memutuskan untuk menyebarkan sistem anti-balistik THAAD.
Keputusan ini menjadi pukulan telak, menjerumuskan hubungan bilateral ke titik terendah. Balasan Tiongkok berupa larangan ekonomi yang menyasar Korea Selatan memperparah keadaan, memicu penderitaan ekonomi dan memperlebar jurang konflik antara kedua negara.
Sentimen Anti-Tiongkok Pan-Nasional: Dilema Kebijakan Lee Jae-myung
Lin Chih-hao (林志豪), seorang peneliti di Institut Keamanan Nasional (INSDR), menggarisbawahi bahwa ketegangan Tiongkok-Korea Selatan telah tersingkap jelas sejak era pemerintahan Yoon Suk-yeol.
Namun, yang mengejutkan, terpilihnya Lee Jae-myung tidak meredakan, melainkan justru memperparah sentimen anti-Tiongkok. Fenomena ini kini telah melampaui batasan ideologi kiri dan kanan, menjelma menjadi sentimen pan-nasional yang menjadikan demonstrasi anti-Tiongkok sebagai pemandangan lumrah.
Kondisi ini menempatkan Lee Jae-myung dalam posisi sulit, memaksanya untuk mempertimbangkan dengan sangat serius sentimen domestik ini dalam setiap keputusan kebijakan.
Misi Lee Jae-myung: Menyeimbangkan Hubungan Tiga Arah AS-Tiongkok-Korea
Survei terbaru mengungkap fakta mengejutkan, sentimen anti-Tiongkok di Korea Selatan kini berada di puncaknya, bahkan melampaui pandangan negatif terhadap Jepang. Lin Chih-hao meyakini, Presiden Lee Jae-myung sangat menyadari kompleksitas ini. Ia tidak ingin tampil terlalu lunak terhadap Tiongkok, agar tidak dicap lemah oleh publik. Sebaliknya, strateginya adalah memulihkan hubungan tingkat tinggi yang teratur dengan Beijing secara bertahap, guna menghapus jejak kecurigaan masa lalu, sekaligus menyeimbangkan dinamika hubungan segitiga antara AS, Tiongkok, dan Korea.
KTT APEC Gyeongju: Barometer Pemulihan Hubungan Tiongkok-Korea Selatan
Mungkinkah hubungan Tiongkok-Korea Selatan kembali mesra? Lin Chih-hao mengakui tantangan besar di depan. Namun, ia menunjuk satu indikator krusial, kehadiran Xi Jin-ping di KTT APEC Gyeongju tahun ini.
"Jika Tiongkok menghormati Lee Jae-myung dengan kehadiran Xi Jin-ping, itu bisa menjadi sinyal kuat bahwa hubungan bilateral akan kembali ke jalur diplomasi normal, jauh dari suasana dingin dan tegang sebelumnya. Tentu saja, normalisasi ini akan menjadi poin plus bagi Lee Jae-myung di mata publik domestik, menunjukkan bahwa ia mampu menjaga martabat negara tanpa terlihat terlalu lunak. Namun, kita harus menunggu hasil APEC untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai sentimen anti-Tiongkok dan arah hubungan Korea-Tiongkok," tutur Lin.
Beijing atau Gyeongju? Misteri Kehadiran Xi di Tengah Spekulasi Pertemuan Trump-Xi
Namun, Liu De-hai menawarkan perspektif berbeda. Ia berpendapat bahwa Hari Nasional Tiongkok tahun ini bisa menjadi momen penting. Xi Jin-ping, menurutnya, kemungkinan besar tidak akan hadir di Gyeongju. Sebaliknya, ia memprediksi pertemuan Xi dengan Trump di Beijing. Jika skenario ini terwujud, dan Lee Jae-myung serta Kim Jong-un turut hadir untuk memfasilitasi pertemuan antar-Korea, ini akan menjadi kemenangan diplomatik besar bagi Seoul.